ARSIP-KU
Saturday, May 31, 2008
Yang pertama-tama membuat buku ini terasa "lain" dari kebanyakan buku bertema keras, seperti jihad atau terorisme misalnya yang selalu tampil garang bahkan vulgar, adalah judulnya. Dan kita pantas bertanya-tanya, "Pesan apa yang ingin disampaikan penulis melalui nya ?" Sebab, memahami judul mempermudah memahami isi. Mari kita buktikan bahwa penulis buku ini tak sekedar ingin bermanis-manis dengan judul. Dan di hadapan kita ada beberapa kemungkinan.

Kemungkinan pertama, penulis ingin mengatakan bahwa, jihad, dalam rangka meraih kemuliaan, bukanlah perbuatan nista atau tercela. Artinya penulis ingin mengingatkan, "Mengapa kita tak mampu melihat keindahan ajaran Islam dari sudut pandang Islam itu sendiri ? Mengapa kita harus mengambil gambaran Islam dari sudut pandang orang-orang yang membenci nya (yahudi dan nashara), sehingga sebagian kita termakan propaganda mereka serta ikut-ikutan menafikan jihad dan alergi terhadap istilah tersebut?" Padahal Islam agama yang sempurna, menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar, menjunjung tinggi keadilan dan menentang kezholiman, memerintahkan menjaga amanat dan mengharamkan khianat, serta menciptakan keamanan dan menghilangkan keonaran. Dan syari'at yang mulia ini, yang jihad termasuk di dalamnya, ALLAH jadikan tidak lain untuk menjaga agama, aqal, darah, harta, kehormatan pemeluknya, sekaligus sebagai rahmat bagi alam semesta.. Baris demi baris pada Bab I dan II menjabarkan pesan ini. Dan tentu lebih baik seandainya urutan pembahasannya adalah ; Kesempurnaan Islam, Terangnya Jalan Islam, Keadilan Dalam Syari'at Islam, Rahmat Dan Kemurahan Islam, Anjuran Untuk Berbuat Perbaikan..., Islam Adalah Penegak Keamanan, Islam menentang Sikap Ekstrim...., dan Haramnya Perbuatan Zholim......



Kemungkinan ke-dua, penulis ingin mengatakan bahwa, kemuliaan itu hanya dapat diraih melalui jihad, bukan melalui cara-cara yang nista atau tercela. Ini peringatan bagi semua. Bahwa mengembalikan kemuliaan hanya dapat diraih melalui jalan-jalan syar'iy , bukan selainnya yang mana semua itu nista lagi tercela. Dan segala istilah atau penamaan di dalam Islam, dalam hal ini Jihad dan Orang Kafir, harus dikembalikan pertama-tama kepada hakekat syar'iy-nya di mana Islam telah memberikan ta'rif (batasan-batasan) dan dlowabith (ketentuan-ketentuan) di dalam memahami dan mengamalkan nya. Oleh sebab itu, cara-cara meraih kemuliaan yang tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan syari'at tidaklah layak dikatakan atau diberi label "jihad". Penulis menguraikan pesan ini melalui pembahasan yang jelas dan terperinci pada Bab II dan III.



Kemungkinan ke-tiga, penulis ingin mengatakan bahwa, jihad itu dimaksudkan untuk meraih kemuliaan, bukan untuk meraih kenistaan. Sebuah teguran kepada mereka yang bersemangat untuk jihad namun tak mengetahui atau tak mengindahkan rambu-rambunya, kemudian menganggap semua bentuk penyerangan terhadap orang-orang kafir adalah bagian dari jihad hingga berbuah kenistaan, berupa jatuhnya korban yang tidak berdosa, meratanya kerusakan, menguatnya cengkeraman negara-negara kafir atas negara-negara kaum muslimin, serta semakin menjadi-jadinya kesalahpahaman, kecurigaan, bahkan pelecehan terhadap agama yang suci ini dan terhadap orang-orang yang ta'at menjalankan syari'atnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Al-Izz bin Abdussalaam (w.660.H) rahimahullahu : "Peperangan apa saja yang tidak mewujudkan kekalahan musuh wajib untuk ditinggalkan. Karena mempertaruhkan nyawa hanya dibolehkan dalam hal-hal yang ada mashlahat kemuliaan agama dan untuk mengalahkan musuh. Apabila hal tersebut tidak tercapai maka wajib untuk meninggalkan perang, karena akan melayangkan nyawa dengan sia-sia, memuaskan hati-hati kaum kuffar, dan merendahkan kaum muslimin. Dan dengan demikian hanya menghasilkan kerusakan semata, tiada suatu mashlahat pun..."(hal: 212). Pesan ini dapat kita tangkap pada Bab III dan IV.



Kemungkinan ke-empat, penulis ingin menyampaikan seluruh pesan di atas, berupa pembelaan, penjelasan, bantahan, sekaligus nasihat hanya dengan satu judul. Dan inilah yang paling kuat. Sebuah judul yang sarat dengan kaedah ilmiyah yang sekaligus menggambarkan prinsip-prinsip agung dari agama yang mulia ini, sebagaimana yang juga ingin penulis tampakkan mulai dari awal hingga akhir tulisannya. Judul yang indah, pembahasan yang runtun dan jernih, serta tutur kata dengan semangat "mengajak", menjadikan buku ini lebih dari sekedar perlu untuk dibaca.



Sayang, keindahan buku ini tidak diimbangi Layout dan Setting-nya. Cover-nya pun masih terlalu "klasik" (seram). Seandainya akan dicetak ulang, tentu penampilannya harus diperbaiki. Dan tidak berlebihan kalau kami usulkan agar buku ini, minus Bab IV-nya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Wallahu a'lam. (Abu Khaulah Zainal Abidin)

Penulis : Al Ustadz Dzulqarnain

Penerjemah : -

Editior : -

Penerbit : Pustaka As-Sunnah



Tanggal kirim : 17/05/2007

Tanggal update : 17/05/2007

(http://www.mimbarislami.or.id/?module=resensi&opt=default&action=detail&reid=1)

Labels:

Baca Selengkapnya...
 
posted by إبراهيم at 3:37 PM | 0 comments
Abu Abdillah An-Nabaji rahimahullahu ‎
berkata :

"Ada lima karakter yang dengannya akan sempurna suatu amalan:

(1) keimanan yang disertai pengetahuan yang benar tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala,

(2) mengenal al-haq,

(3) mengikhlaskan seluruh amalan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala,

(4) beramal sesuai Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan

(5) makan dari makanan yang halal.

Apabila salah satu dari lima karakter ini hilang, maka tidak akan terangkat amalan-amalannya. Jika engkau mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala namun tidak mengetahui al-haq, maka tidak ada manfaatnya. Dan andaikata engkau mengetahui al-haq namun tidak mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala, juga tidak bermanfaat. Dan jika engkau mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengetahui al-haq, namun tidak ikhlas dalam amalan-amalanmu, maka tidak ada gunanya. Atau, engkau mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengetahui al-haq, ikhlas dalam amalan-amalanmu, namun tidak sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka tidak ada faedahnya. Dan andaikan keempat perkara tersebut terpenuhi, namun engkau tidak mengonsumsi makanan yang halal, maka tidak ada manfaatnya."

(Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 257-258)

Penulis: Al-Ustadz Zainul Arifin

Sumber :www.asysyariah.com

Labels:

Baca Selengkapnya...
 
posted by إبراهيم at 3:23 PM | 0 comments
Saturday, May 3, 2008

السلام عليكم و رحمة الله و بركاته


إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونتوب إليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله بعثه الله تعالى بالهدى ودين الحق فبلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح الأمة وتركها على محجة بيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها إلا هالك فصلوات الله وسلامه عليه وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.                                    


أما بعد


أيها الناس اتقوا الله تعالى وتفقهوا في دينكم في عقائده وأحكامه فإن النبي صلي الله عليه وسلم قال: ( من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين )(1) تعلموا شرائع الله لتعبدوه على بصيرة وتدعو إليه على بصيرة فإنه لا يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون يقول الله تعالى لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم: ﴿ قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ﴾ [ يوسف: 108] اطلبوا العلم فإن العلم نور وهداية والجهل ظلمة وضلالة اطلبوا العلم فإنه مع الإيمان رفعة في الدنيا والآخرة قال الله تعالى: ﴿ يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ﴾[ المجادلة: 11] اطلبوا العلم فإنه ميراث الأنبياء ( إن الأنبياء لم يورثرا ديناراً ولا درهماً )(2)  قال النبي صلى الله عليه وسلم: ( إنا معشر الأنبياء لا نورث )(3)( وإنما ورثوا العلم فمن أخذه فقد أخذ بحظ وافر )(4) (يعني من ميراثهم) اطلبوا العلم فإنه ذخر لكم في الحياة وبعد الممات قال النبي صلى الله عليه وسلم :( إذا مات الإنسان أنقطع عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له )(5) اطلبوا العلم يكن لكم لسان صدق في الآخرين فإن آثار العلم تبقى بعد فناء أهله فالعلماء الربانيون لم تزل آثارهم محمودة وطريقتهم مأثورة وسعيهم مشكوراً وذكرهم مرفوعا إن ذكروا في المجالس امتلأت المجالس بالثناء عليهم والدعاء لهم وإن ذكرت الأعمال الصالحة والآداب العالية كانوا قدوة الناس فيها ﴿ أَوَمَنْ كَانَ مَيْتاً فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُوراً يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا ﴾ [الأنعام: 122] أيها الناس اطلبوا العلم مبتغين به الأجر من الله عز وجل لا تطلبوا العلم لتنالوا عرضاً من الدنيا ( فإن من تعلم علماً مما يبتغى به وجه الله عز وجل لا يتعلمه إلا ليصيب عرضاً من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة )( 6) إي :لم يجد ريحها-طلبوا العلم لترفعوا به الجهل عن أنفسكم فإن الله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والأبصار والأفئدة لعلكم تشكرون، ولا علم إلا بالتعلم، اطلبوا العلم لترفعوا به الجهل عن عباد الله فتنشروا العلم بين الخلق، فإن على أهل العلم حق تبليغه، قال النبي صلى الله عليه وسلم: ( بلغوا عني ولو آية )(7)وقال صلى الله عليه وسلم: ( ليبلغ الشاهدُ منكم الغائب )(8) اطلبوا العلم لتحفظوا به شريعة الله فإن الشريعة تحفظ بشيئين الكتابة والحفظ في الصدور وهو العلم اطلبوا العلم لتدافعوا به عن شريعة الله فإن الدفاع عن الشريعة إنما يكون برجالها أرأيتم لو أن رجلاً ضالاً مبتدعا أو ملحداً أو محرفاً أو مخرفاً قام يدعو إلى ضلالته بين قوم لا علم عندهم فهل يستطيع من حوله أن يبين ضلالته ويحمي الشريعة من عدوانه ولو قام هذا الضال يدعو إلى ضلالته وحوله من كتب الحق والهدى ما لا يحصى فإن هذه الكتب لن يقفز منها كتاب واحد يبين ضلالته ويكبح عدوانه ولو قام هذا الضال يدعو إلى ضلالته في قوم بينهم عالم لقام هذا العالم مبيناً ضلاله داحضاً حجته مبطلاً لدعوته أيها المسلمون اطلبوا العلم لتدعو به إلى الله فإن الدعوة إلى الله لا تتم بدون العلم وكم من شخص نصب نفسه داعية إلى الله ولم يكن عنده علم فلم تكمل دعوته ولم تتم وربما تكلم عن جهل فأفسد أكثر من ما يصلح إن الدعوة إلى الله تعالى بالعلم هي طريق النبي صلى الله عليه وسلم وأتباعه كما أمره الله بقوله: ﴿قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ﴾ [ يوسف: 108] أيها الناس إن طلب العلم من أفضل الأعمال لما فيه من هذه المطالب العالية لا سيما في وقتنا هذا، هذا الوقت الذي كثر فيه طلب الدنيا والتكالب عليها وكثر فيه القراء العارفون دون الفقهاء العاملين إن ثمرة العلم العمل والدعوة إلى الله فمن لم يعمل بعلمه كان علمه وبالاً عليه ومن لم يدعو الناس به كان علمه قاصراً عليه من عمل بما علم ورثه الله علم ما لم يعلم يقول الله تعالى: ﴿وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدىً وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ ﴾ [محمد: 17] ومن ترك العمل بما علم أوشك أن ينزع عنه العلم كما قال الله تعالى: ﴿فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظّاً مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ ﴾[ المائدة 13]  "وقد قيل العلم يهتف بالعمل فإن أجاب وإلا أرتحل" (ك1) وقيل "قيدوا العلم بالعمل كما تقيدونه بالكتابة" (ك2) أيها الناس إن لنيل العلم طريقين أحدهما أن يتلقى ذلك من الكتب الموثوق بها والتي ألفها علماء مرضيون بعلمهم وأمانتهم والثاني أن يتلقى ذلك من معلم موثوق به علماً وديانة وهذه الطريق أسلم وأسرع وأثبت للعلم لأن الطريق الأول طريق التلقي من الكتب قد يضل فيه الطالب وهو لا يدري إما لسوء فهمه أو قصور علمه أو لغير ذلك من الأسباب ولأن الطريق الثاني تكون فيه المناقشة والأخذ والرد مع المعلم فينفتح للطالب بذلك أبواب كبيرة في الفهم والتحقيق وكيفية الدفاع عن الأقوال الصحيحة ورد الأقوال الضعيفة وإذا جمع الطالب بين الطريقين التلقي من الكتب ومن المعلمين كان ذلك أكمل وأتم وليبدأ الطالب بالأهم فالأهم وبمختصرات العلوم قبل مطولاتها حتى يكون مترقياً من درجة فما فوقها فلا يصعد إلى درجة إلا وقد تمكن من ما تحتها ليكون صعوده سليما أيها الناس إن طلب العلم فرض كفاية فالقائم به قائم بفرض وقد قال الله عز وجل في الحديث القدسي:( ما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه )(9) وإذا احتاج الإنسان إلى نوع منه كان فرض عين عليه فعلى من أراد الوضوء أن يتعلم كيف يتوضأ وعلى من أراد الصلاة أن يتعلم كيف يصلي وعلى من عنده مال أن يتعلم كيف يزكيه وعلى من أراد الصوم أن يتعلم كيف يصوم وماذا يصوم وعلى من أراد الحج أن يتعلم كيف يحج حتى يعبد الله على بصيرة وبرهان أيها المسلمون بل أيها الطالبون للعلم ابشروا فإنكم قائمون بفرض من فروض الكفاية فلكم أجر القائمين بالفرض إنكم قائمون بالفرض في المساجد إذا كنتم تراجعون العلم وفي البيوت وفي المدارس فاحمدوا الله على هذه النعمة وأسالوا الله الثبات عليها والمزيد من فضله اللهم وفقنا للهدى والرشاد وجنبنا الضلال والفساد اللهم علمنا ما ينفعنا وأنفعنا بما علمتنا وزدنا علماً يا رب العالمين اللهم إنا نسألك أن ترينا الحق حقاً وترزقنا أتباعه وأن ترينا الباطل باطلاً وترزقنا اجتنابه اللهم صلى على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد .



الحمد لله الذي علم بالقلم، علم الإنسان ما لم يعلم: ﴿الرَّحْمَنُ*عَلَّمَ الْقُرْآنَ*خَلَقَ الْأِنْسَانَ*عَلَّمَهُ الْبَيَانَ﴾ [ الرحمن :1-4] وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ذو الفضل والعفو والإحسان وأشهد أن محمداً عبده ورسوله الذي بعثه الله بالهدى ودين الحق ليمحو الباطل بالحجة والبرهان صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان وسلم تسليما.


أما بعد


أيها الناس فإننا في هذه الأيام نلج أبواب عام دراسي جديد توافق مع العام الهجري الجديد نسأل الله تعالى أن يجعله علينا وعلى المسلمين عام خير وبركة وعلى المجرمين والكافرين عام ذل وهوان إن الناس في هذه الأيام يستقبلون نشاطهم فيا ليت شعري ماذا أعدوا لهذا العام أيها الناس إنني لا أدري إلى من أوجه خطبتي هل أوجهها إلى العموم أو أوجهها إلى أصناف معينين إنني أقول إن أحق من أوجه خطبتي هذه إليهم ثلاث أصناف من الناس المعلمون والمتعلمون وأولياء أمور المتعلمين أما المعلمون فإن من أهم ما يتعلق بهم أن يدركوا العلوم التي يلقونها إلى الطلبة إدراكاً جيداً مستقراً في نفوسهم قبل أن يقفوا أمام الطلبة حتى لا يقع الواحد منهم في حيرة عند سؤال التلاميذ له ومناقشتهم إياه فإن من أعظم مقومات الشخصية لدى الطلبة أن يكون المعلم قوي في علمه وملاحظته إن قوة المعلم العلمية في تقويم شخصيته لا تقل عن قوة ملاحظته إن المعلم إذا لم يكن عنده علم أرتبك عند السؤال فينحط قدره في أعين تلاميذه وإن أجاب بالخطأ فلن يثقوا به بعد ذلك وإن أنتهرهم عند السؤال والمناقشة فلن ينسجموا معه إذاً فلابد للمعلم من إعداد واستعداد وتحمل وصبر المعلم عند توجيه السؤال له إن كان عنده علم راسخ في ذهنه مستقر في نفسه أجاب بكل سهولة وانطلاقة وإلا إنه لا يخلو بعد ذلك من هذه الأمور الثلاثة الارتباك أو الخطأ أو الانتهار وكل ذلك ينافي الآداب التي ينبغي أن يكون المعلم عليها وإذا كان على المعلم أن يدرك العلم الذي سيلقيه أمام الطلبة فإن عليه أن يحرص على حسن إلقاءه إليهم بأن يسلك أسهل الطرق في إيضاح المعاني وضرب الأمثال ومناقشة الطلبة فيما ألقاه عليهم سابقا ليكونوا على صلة بالماضي ويعلموا أن هناك متابعة من المعلم أما أن يأتي يقرأ عليهم الشيء قراءة لا يدري من فهم ومن لم يفهم ولا يناقش فيما مضى فإن هذه الطريقة طريقة عقيمة جداً لا تثمر ثمرة ولا تنتج نتيجة طيبة وإذا كان على المعلم أن يجتهد في الأمور العلمية تحصيلاً وعرضاً فعليه أن يجتهد في الأمور العملية التعبدية عليه أن يكون حسن النية والتوجيه فينوي بتعليمه الإحسان إلى طلبته وإرشادهم إلى ما ينفعهم في أمور دينهم ودنياهم وليجعل نفسه لهم بمنزلة الأب الشفيق الرفيق ليكون لتعليمه أثر بالغ في نفوسهم وعلى المعلم أن يظهر أمام طلبته بالمظهر اللائق من الأخلاق الفاضلة والآداب العالية التي أساسها التمسك بكتاب الله تعالى وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم ليكون قدوة لتلاميذه في العلم والعمل فإن التلميذ ربما يتلقى من معلمه من الأخلاق والآداب أكثر من ما يتلقى منه العلم من حيث التأثر لأن أخلاق المعلم وآدابه صورة مشهودة معبرة عن ما في نفسه ظاهرة في سلوكه فتنعكس هذه الصورة تماماً على إرادة التلاميذ واتجاههم إن على المعلم أن يتقي الله تعالى في نفسه وفي من ولأهم الله عليه من التلاميذ وأن يحرص غاية الحرص على أن يمثل أمامهم بالآداب والأخلاق حتى يكون قدوة صالحة ( ومن سنة في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة )(10) وإنني أقول للمعلمين إن عند التلاميذ ملاحظة دقيقة عجيبة على صغر سنهم إن المعلم إذا أمرهم بشيء ثم رأوه يخالف ما أمرهم به فإنهم سوف يضعون علامة الاستفهام أمام وجه هذا المعلم كيف يعلمنا بشيء ويأمرنا به وهو يخالف ما كان يعلمنا ويأمرنا به لا تستهن يا معلم لا تستهن بالتلاميذ ولو كانوا صغاراً فعندهم من الملاحظات أمر عجيب أيها المتعلمون ابذلوا غاية الجهد في تحصيل العلم من أول العام حتى تدركوا المعلومات إدراكاً حقيقياً ثابتاً في قلوبكم راسخاً في نفوسكم لأنكم إذا اجتهدتم من أول العام أخذتم العلوم شيئاً فشيئاً فسهلت عليكم ورسخت في نفوسكم وسيطرتم عليها سيطرة تامة وإن أنتم أهملتم وتهاونتم في أول العام واستبعدتم أخره أنطوى عنكم الزمن وتراكمت عليكم الدروس فأصبحتم عاجزين عن تصورها فضلاً عن تحقيقها فندمت حين لا تنفع الندامة وبئتم بالفشل والملامة أيها الناس أيها المدراء إذا كان على المعلمين والمتعلمين واجبات تجب مراعاتها فإن على إدارة المدرسة أو المعهد أو عمادة الكلية أن ترعى من تحت مسئوليتها من مدرسين وطلاب ومراقبين لأنها مسئولة عنهم أمام الله عز وجل ثم أمام المسئولين فوقهم ثم أمام عامة الأمة بمقتضى الأمانة التي تحملوها نحوهم أيها الأولياء وإذا كان على المدرسة معلميها ومديريها وعمدها واجبات فإن على أولياء الطلبة من الآباء وغيرهم واجبات يلزمهم القيام بها عليهم أن يتفقدوا أولادهم وأن يراقبوا سيرهم ونهجهم العلمي والفكري والعملي وأن لا يتركوهم هملاً لا يبحثون معهم ولا يسألونهم عن طريقتهم وأصحابهم ومن يعاشرونهم ويصادقونهم إن إهمال الأولاد ظلم وضياع ومعصية لما أمر الله به في قوله:﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ﴾   [التحريم :6] فاتقوا الله عباد الله وليقم كل منكم بما أوجب الله عليه من حقوق الله وحقوق لعباد الله لتفوزوا بالمطلوب كما قال ربكم وإلهكم:﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً * يصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً ﴾ [ الأحزاب :70-71] أيها الناس إن ما قلناه في حق الأولاد لا نقصد به الأبناء فقط وإنما نقصد به الأبناء والبنات لأن الأولاد في كتاب الله وفي سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم يراد بهم الذكور والإناث كما قال الله تعالى: ﴿يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ﴾[ النساء : 11] وقال النبي صلى الله عليه وسلم:( اتقوا الله واعدلوا بين أولادكم )(11) فما كان في حق البنين من رعاية ومن رعاية وحماية فإنه في حق البنات كذلك أسال الله تعالى أن يجعلنا وإياكم هداة مهتدين صالحين مصلحين وأقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم ولكافة المسلمين من كل ذنب فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم .



-------------------------


(1)  أخرجه الإمام البخاري رحمه الله تعالى في كتاب العلم ( 69) و أخرجه الإمام مسلم رحمه الله تعالى في كتاب الزكاة ( 1721) من حديث معاوية بن أبي سفيان رضي الله تعالى عنه.


(2)  هذا جزء من حديث ذكره الشيخ رحمه الله تعالى وأخرجه أحمد رحمه الله تعالى في مسنده بطوله ( 20723) وبن ماجه (219) وأبو داود ( 3157 ) والترمذي( 2606 ) و أخرجه الدارمي في سننه ( 346) من حديث أبي الدرداء رضي الله تعالى عنه .


(3)  أخرجه الإمام أحمد رحمه الله تعالى في مسنده في باقي مسند المكثرين من الصحابة رضي الله تعالى  عنهم أجمعين من حديث أبي هريرة رضي الله تعالى عنه ( 9593 ) .


(4)  سبق تخريجه في نفس الصفحة في تخريج الحديث الثاني .                   



(5)  أخرجه مسلم في كتاب الوصية ( 3084 ) من حديث أبي هريرة رضي الله تعالى عنه.


(6)  أخرجه الإمام أحمد رحمه الله تعالى في مسنده من حديث أبي هريرة رضي الله تعالى عنه ( 8103) وأبو داود في كتاب العلم (3179).


(7)  أخرجه البخاري في كتاب أحاديث الأنبياء ( 3202 ) من حديث عبد الله بن عمرو بن العاصي رضي الله تعالى عنهما.


(8)  أخرجه الإمام البخاري رحمة الله تعالى في كتاب العلم ( 102) من حديث أبي بكرة رضي الله تعالى عنه وأخرجه الإمام مسلم رحمه الله تعالى في كتاب القسامة والمحاربين والقصاص والريات من حديث أبي بكرة رضي الله تعالى عنه ( 3180) وأخرجه الإمام أحمد رحمه الله تعالى من حديث أسماء بنت يزيد رضي الله تعالى عنها ( 26298) و ( 15782) و( 19182) و(19188) و19523) و( 21826).


(ك1)  ذكره الخطيب البغدادي في الجامع - وابن عساكر في ذم من لا يعمل بعلمه ( رقم 11) رحمهما الله تعالى هذا الأثر مروي عن علي بن أبي طالب رضي الله تعالى عنه وهذا اللفظ بنحوه مروي عن سفيان الثوري رحمة الله تعالى.




(ك2)  الأثر: هذا الأثر لم نقف عليه.


(9)  أخرجه الإمام البخاري رحمة الله تعالى في كتاب الرقاق ( 6021 ) من حديث أبي هريرة رضي الله تعالى عنه جزء من الحديث القدسي.


(10)   أخرجه الإمام البخاري رحمة الله تعالى في كتاب الهبة من حديث النعمان بن بشير رضي الله تعالى عنهما ( 2398 ) وأخرجه الأمام مسلم رحمة الله تعالى في كتاب الهبات ( 3052 )  ت ط ع.


(11)  أخرجه الإمام مسلم رحمة الله تعالى في كتاب الزكاة جزء من الحديث الطويل ( 1691 ) من حديث جرير بن عبد الله بن جابر البجلي رضي الله تعالى عنه و الترمذي رحمة الله تعالى في كتاب العلم ( 599) والنسائي رحمة الله تعالى في كتاب الزكاة ( 507 2) وابن حاجة رحمة الله تعالى في كتاب المقدمة ( 199) والإمام أحمد رحمة الله تعالى ( 18367).




(http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_33.shtml)

Labels:

Baca Selengkapnya...
 
posted by إبراهيم at 9:04 PM | 0 comments
Wednesday, April 30, 2008
Pembaca yang budiman -semoga dirahmati Allah-,
Mungkin kita sama-sama telah membaca Harian Fajar tanggal 3 Maret 2007 halaman 11, yang memuat tentang pernyataan resmi dari Polda Makassar, bahwa ada enam kelompok yang disinyalir sebagai kelompok teroris. Berita tersebut mengingatkan kita peristiwa enam tahun silam, yaitu peledakan Mall Ratu Indah, Makassar. Ini disebabkan karena ada segelintir pemuda kaum muslimin yang “buang bomsembarang tempat!!!” Seharusnya bom itu dibuang dan diledakkan di medan jihad, justru dibuang dan diledakkan di negeri kaum muslimin sendiri. Mereka terlalu bersemangat dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, namun tidak dilandasi oleh ilmu, sehingga justru lebih banyak kerusakan yang ditimbulkan daripada manfaat. Oleh karena itu, pada edisi kali ini kami akan memaparkan beberapa kerusakan yang ditimbulkan oleh kejadian tersebut.

* Membunuh Diri

Dalam rangka “jihad” memerangi Amerika dan sekutunya, sekian banyak aksi peledakan dan bom bunuh diri terjadi di negeri-negeri kaun muslimin yang dilakoni oleh sebagian pemuda yang tak berbasis ilmu yang kuat. Akibatnya, korban berjatuhan dari kalangan warga sipil muslim sendiri. Padahal Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah melarang seorang muslim membunuh dirinya sendiri di dalam firman-Nya:

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu sungguh Allah maha penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa`: 29)

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah memperingatkan:

من قتل نفسه بحديدة فحديدته في يده يتوجأ بها في بطنه في نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا ومن شرب سما فقتل نفسه فهو يتحساه في نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا ومن تردى من جبل فقتل نفسه فهو يتردى في نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا

“Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sepotong besi, maka besinya itu akan berada ditangannya. Dia akan menikam perutnya dengan pisau itu didalam neraka dalam keadaan kekal didalamnya selama-lamanya. Barang siapa yang menenggak racun, lalu ia membunuh dirinya dengan racun itu, maka ia akan meminumnya sedikit-demi sedikit dalam neraka Jahannam dalam keadaan kekal di dalamnya selama-lamanya. Barang siapa yang menghempaskan dirinya dari gunung sehingga dia membunuh dirinya, maka dia akan terhempas dalam neraka dalam keadaan kekal di dalamnya selama-selamanya.” [Muslim dalam Shohih-nya (109)]

Ini adalah perbuatan yang konyol -bukan jihad-. Perbuatan ini tidaklah mendatangkan kemaslahatan bagi Islam, karena bila seandainya dia membunuh dirinya dan membunuh 10 orang atau 100 orang atau 200 orang, maka hal tersebut tidak akan bermanfaat bagi Islam dan tidak membuat manusia ber-Islam. Malah membuat orang lari dari Islam. Karena itulah, perbuatan ini tidak dapat dibenarkan, dan menyebabkan pelakunya diazab di neraka, dan orang yang bunuh diri dengan cara yang seperti ini bukanlah mati syahid. Jika seorang mau berdakwah dan mengajak orang-orang kafir masuk ke dalam Islam, maka dakwahilah mereka dengan cara hikmah, bukan dengan cara emosi dan membabi buta yang mencoreng citra Islam dan kaum muslimin.

* Membunuh Seorang Muslim

Jika kita memperhatikan orang-orang yang menjadi korban pemboman, maka kebanyakannya adalah kaum muslimin sendiri. Duhai, sungguh celakanya orang yang membom ini…! Karena Allah telah mengancamnnya di dalam firman-Nya:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An-Nisa`: 93)

Lihatlah pembaca yang budiman! Allah mengancamnya di dalam ayat ini dengan neraka jahannam dan tidak sampai disitu saja, bahkan ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutuknya dan menyediakan siksa yang pedih baginya. Ini baru satu orang muslim, bagaimana lagi jika yang dibunuhnya adalah puluhan sampai ratusan orang muslim? -Nas alulllaha ‘afiyah wassalamah-

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لَزَوَالُ لدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

“Sungguh hancurnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada membunuh (jiwa) seorang muslim”. [HR. At-Tirmizy dalam As-Sunan (1399), An-Nasa’iy dalam As-Sunan (7/82), Al-Bazzar dalam Al-Musnad (2393), dan lain-lain. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ghoyatul Maram (4390)]

Mereka berteriak ketika kaum kuffar AS dan sekutunya membantai jutaan kaum muslimin dengan mengatakan bahwa nyawa seorang muslim itu sangat mahal di sisi Allah. Namun di sisi lain mereka sendiri ternyata juga turut menumpahkan darah kaum muslimin. parahnya lagi kesalahan tersebut berusaha ditutupi dan dibenarkan dengan berjuta dalih: “Ini kan jihad”, “Mereka adalah Mujahid”, “Mereka adalah penghuni surga”, dan “Mereka mati syahid”. Padahal orang-orang yang melakukan aksi teror tersebut adalah orang-orang yang mati konyol, diancam oleh Allah dengan neraka Jahannam. Bagaimana mereka dianggap mati syahid ??!

* Membunuh Kafir Musta’man

Pembaca budiman, ketahuilah bahwa tidak semua orang kafir boleh dibunuh di dalam syariat agama kita, karena sesungguhya orang kafir itu ada empat:macam, yaitu:

o kafir dzimmy

Mereka adalah orang kafir (penduduk asli) yang membayar jizyah (upeti) yang dipunguti tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin. kafir, seperti ini tidak boleh dibunuh selama ia masih menaati peraturan-peraturan yang dikenakan kepada mereka. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut diantaranya adalah hadist Al-Mughirah bin syu’bah -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata,



“Kami diperintah oleh rasul robb kami -Shollallahu ‘alaihi wasallam- untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu-satunya atau kalian membayat jizyah ”.[HR.Al-Bukhary dalam Ash-Shohih (3158)]

o kafir mu’ahad ,

Mereka adalah orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati. Orang kafir seperti ini juga tidak boleh dibunuh, sepanjang mereka menjalankan kesepakatan yang telah dibuat. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

من قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها توجد من مسيرة أربعين عاما

" Siapa yang mebunuh kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan 40 tahun " . [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (3166), An-Nasa’iy dalam As-Sunan (8/25), dan Ibnu Majah (2686)]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Ingatlah, siapa yang menzholimi seorang kafir mu’ahad, merendahkannya, membebani diatas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya, tanpa keridoan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat [HR Abu Daud dalam As-Sunan (3052) dan Al Baihaqy (9/205). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (445)]

o kafir musta’man

Mereka adalah orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin. Kafir jenis ini juga tidak boleh dibunuh, sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan. Dalilnya, firman Allah -Ta’ala-,

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, Kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak Mengetahui.””. (QS. At-Taubah: 6)

d. kafir harby

Mereka adalah kafir selain yang tiga di atas. kafir jenis inilah yang disyariatkan untuk diperangi dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Mengapa harus diperangi? Karena mereka memerangi Islam.Demikianlah ketentuan syariat Allah.

Namun orang kafir harbiy yang masuk ke negeri kaum muslimin dengan jaminan keamanan dari pemerintah muslim berubah statusnya menjadi kafir musta’man, haram untuk diperangi selama dalam perlindungan. Mereka (para pembom) ini tidak peduli lagi dengan syariat Allah dalam hal ini. Padahal pada saat yang sama, mereka selalu meneriakkan, “Ayo tegakkan syari’at Islam”. Namun untuk kali ini, mereka injak-injak sendiri slogan-slogan tersebut. Akibatnya, semua orang kafir sah dan halal darah dan hartanya; perang dan pembunuhan terhadap mereka boleh dilakukan kapan dan di mana saja!! Wahai Pembaca yang budiman, tentunya ini merupakan sikap serampangan yang menyelisihi Al-Kitab, Sunnah, dan tuntunan para ulama’.

* Menzholimi Orang Lain

Allah -‘Azza wa Jalla-, Pencipta kita telah mengharamkan perbuatan zholim atas diri-Nya dan hamba-hamba-Nya sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Qudsiy, Allah berfirman,

يَا عِبَادِيْ إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظُلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بيَنْكَمُْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا

“Wahai segenap hamba-hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan perbuatan zholim atas diri-Ku dan Aku telah menjadikan hal tersebut sebagai perkara yang haram antara sesama kalian, maka janganlah kalian saling menzholimi”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2577) dari Abu Dzar -radhiyallahu ‘anhu-)

Dalam berbagai nas, baik Al-Qur’an, maupun sunnah, telah diterangkan bahwa perbuatan zhalim tidak pernah membawa kebaikan bagi pelakunya di dunia maupun di akhirat. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyatakan dalam berbagai ayat tentang bahaya perbuatan zholim. Diantaranya, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا (27) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا (28) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا

“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zholim menggigit dua tangannya, seraya berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku. dan adalah setan ti tidak mau menolong manusia.”. (QS. Al-Furqan: 27 - 29 )

وَكَمْ قَصَمْنَا مِنْ قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَأَنْشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا آَخَرِينَ

“Dan berapa banyak penduduk negeri yang zholim yang telah kami binasakan, dan kami adakan setelah mereka itu kaum yang lain (sebagai penggantinya)”. (Al-Anbiya`: 11)

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- juga mengingatkan:

اِتَّقُوْا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Takutlah terhadap perbuatan zholim, sebab kezholiman adalah kegelapan di atas kegelapan pada hari kiamat” [HR. Al-Bukhary dalam Shohihb-nya(2447), Muslim dalam Shohih-nya (2579), dan At-Tirmidzy dalam As-Sunan (2035) dari sahabat Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhu-]

Inilah beberapa kerusakan dan pelanggaran yang ditimbulkan oleh “aksi buang bom sembarang tempat!!!” Sebenarntyamasih banyak lagi kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan ini yang belum sempat kami paparkan seperti mencoreng citra Islam, membuat kaum muslimin jadi takut, mengadakan kerusakan di muka bumi, menjadikan orang-orang yang komitmen terhadap agamanya sebagai bahan cercaan dan celaan, merusak harta benda yang terjaga dan dilindungi dalam syariat, dan masih banyak lagi.

Wahai saudaraku, wahai para Pengangkat bendera “jihad”, pernahkah engkau bertanya pada dirimu, “Apakah termasuk jihad, menumpahkan darah kaum muslimin??! Apakah termasuk jihad, menghalalkan darah orang-orang yang haram untuk dibunuh dan? Apakah merupakan jihad menghancurkan harta benda kaum muslimin? Apakah engkau telah berjihad membenahi dirimu dalam mempelajari ilmu dan mengamalkannya? Sudahkah engkau berjihad mengikuti Al-Qur’an dan sunnah? Apakah engkau telah mengikuti Al-Qur’an dan sunnah, walaupun menyelisihi hawa nafsumu. ketahuilah saudaraku, jihad di jalan Allah bukanlah untuk pelampiasan dan pemuas hawa nafsu, namun dia adalah ibadah yang sangat agung dan salah satu simbol agama yang suci. Ingatlah, memperbaiki masyarakat adalah tanggung jawab bersama, sebarkan ilmu syari’at Islam di tengah ummat, tegakkan hukum Allah, dan jauhilah segala sebab kerusakan dan kehancuran”.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 11 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)

(http://almakassari.com/?p=52)

Labels:

Baca Selengkapnya...
 
posted by إبراهيم at 8:42 PM | 0 comments
Hari kiamat adalah hari yang amat mencengangkan, menakutkan, dan penuh kesusahan. Oleh karena itu, setiap hamba ketika berada pada hari itu dipadang mahsyar, mereka berdiri penuh kecemasan, sambil menunggu keputusan Sang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ

“Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): "Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin”. (QS.As-Sajdah: 12)

Di tengah kerisauan, dan kecemasan seluruh makhluk, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyelamatkan seorang lelaki muslim. Apa sebabnya? Karena ia bertauhid, mengesakan Allah dalam ibadah.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

“Sesunggunya Allah akan menyelamatkan seorang lelaki dari umatku di hadapan para makhluk pada hari kiamat. Maka dihamparkan di depannya 99 gulungan (dosa), setiap gulungan panjangnya sejauh mata memandang, kemudian Allah berfirman (kepadanya), “Apakah kamu mengingkari sesuatu dari ini (yaitu catatan dosa yang terhampar di depannya), apakah para penulis-Ku yang mengawasi kamu menzholimimu?” Maka ia menjawab, “tidak wahai Rabbku”, maka Allah berfirman, “Bahkan engkau mempunyai satu kebaikan di sisi Kami, sesungguhnya tidak ada kezholiman pada hari ini atasmu”, maka dikeluarkan satu bithoqoh (kartu) tertulis di dalamnya:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

“Maka Allah berfirman, “Saksikanlah timbanganmu”, maka ia berkata, “wahai Rabbku apakah (nilainya) bithoqoh ini dibanding dengan gulungan-gulungan tersebut”. Maka Allah berfirman, “Sesungguhnya engkau tidak akan dizholimi”. Maka diletakkan gulungan-gulungan tersebut pada satu daun timbangan dan bithoqoh (diletakkan) pada anak timbangan (lainnya). Maka terangkatlah gulungan-gulungan itu dan bithoqoh tersebut lebih berat”. [HR. Imam Ahmad dalam Al-Musnad (6994), At-Tirmidziy dalam Al-Jami’ (2639), Ibnu Majah Al-Qozwiniy dalam As-Sunan (4300), dan lainnya. Di-shahih-kan Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shahihah (no. 135)]

Hadits ini mengabarkan tentang catatan pahala seorang lelaki, bertuliskan “l a il aha illall ah” pada sebuah bithoqoh (kartu) bisa menghapus 99 gulungan dosa. Setiap satu gulungan panjangnya sejauh mata memandang. Keutamaan ini ia peroleh karena ia mengucapkan, meyakini, dan melaksanakan konsekuensi kalimat ini dalam keadaan sempurna keikhlasannya (murni dalam bertauhid atau syahadatnya).Akan tetapi perlu diingat, betapa banyak orang yang mengucapkan kalimat ini, tapi tidak bisa mendapatkan keistimewaan di atas, karena keikhlasannya tidak sempurna.

Fadhilah Asy-Syaikh Sholeh bin Abdul Aziz Alusy Syaikh-hafizhohullah- berkata dalam At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 28), “Keutamaan besar ini bagi kalimat tauhid, hanyalah ada bagi orang yang kalimat itu kuat di hatinya. Demikianlah bahwa kalimat itu kuat dalam hati sebagian hamba, karena ikhlash, dan membenarkannya. Dia tak ragu terhadap sesuatu yang ditunjukkan oleh kalimat tersebut, ia meyakini sesuatu yang terdapat padanya, dan mencintai sesuatu yang ditunjukkannya. Akhirnya, bekas, dan cahayanya semakin kuat dalam hati. Jika demikian, maka kalimat itu akan membakar sesuatu yang dihadapinya berupa dosa-dosa. Adapun orang yang tidak sempurna keikhlasannya dalan kalimat itu, maka gulungan dosa tersebut tidak akan terangkat (melayang)”.

Oleh karena itu, seorang muslim perlu mengetahui makna tauhid yang dikandung oleh kalimat syahadat. Al- Allamah Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diyrahimahullah berkata dalam Al-Qoul As-Sadid (hal. 32), “Tauhid adalah Berilmu dan mengetahui akan ke-Esaan Allah dan sifat-sifat-Nya yang sempurna dan mengikhlaskan (memurnikan) ibadah hanya kepada-Nya”.

Seorang yang mengucapkan dan meyakini kalimat syahadat, harus mengerjakan dua syarat:

* Pertama, nafyul uluhiyah (meniadakan semua sesembahan) selain Allah, yaitu mengetahui dan meyakini bahwa tidak ada hamba yang mempunyai hak uluhiyah (penyembahan) sedikitpun dan tidak berhak diibadahi, baik itu para nabi, malaikat, jin, kiyai, para raja, dan lainnya. Tidak seorang pun yang memiliki bagian sedikit pun dari uluhiyah-Nya. Jadi, makhluk tidak boleh dido’ai, di-istighotsahi, dimintai tolong dalam perkara yang tak mampu ia lakukan, kecuali Allah.
* Kedua, itsbatul uluhiyah (menetapkan hak penyembahan) hanya kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Juga menetapkan keesaan-Nya dalam semua makna penyembahan dan peribadatan, dan semua sifat-Nya yang sempurna. Semua hamba tidak cukup hanya meyakini ini saja, tapi dia juga harus mewujudkan dengan mengikhlaskan dien (ibadahnya), menegakkan Islam dan melaksanakan hak-hak Allah serta kawajiban seorang hamba yang ditujukan kepada Allah untuk mendapatkan ridha dan pahala dari-Nya.

Bisa dipahami bahwa hakekat tafsir “syahadat” yang sempurna adalah bara’ (berlepas diri) dari sesembahan selain Allah, tidak membuat tandingan-tandingan bagi Allah, tidak mencintai sesuatupun melebihi cintanya kepada Allah, atau mentaati mereka sebagaimana beramal untuk Allah diantara perkara bisa berlawanan dengan makna dan hakekat “L a il aha illall ah”.Tentang makna “L a il aha illall ah”,Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ.

“Baransiapa yanng mengucapkan “L a il aha illall ah” dan dia mengingkari semua yang disembah selain Allah, maka haram harta dan darahnya, adapun perhitungannya terserah Allah”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (23), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (8190), dan lainnya]

Orang yang hanya mengucapkan “L a il aha illall ah’’ di lisan saja sedang dia tidak mengerti maknanya, tidak mengikrarkannya, berdo’a tidak hanya kepada Allah saja, maka darah dan hartanya tidak terjaga sebelum dia mengingkari sesembahan-sesembahan selainnya, Namun kalau dia ragu-ragu dan tak tahu, maka tidak ada jaminan atas harta dan darahnya.

Jadi, jelas bahwa mengucapkan “L a il aha illall ah” haruslah yakin tentang wajibnya beribadah hanya kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, disertai keikhlasan baik ucapan dan keyakinannya. Selain itu, ia juga harus bara’ (berlepas diri) dari selain-Nya dalam hal ibadah, ketaatan dan ketundukan.

Syahadat yang murni adalah yang bersih dan tidak ada noda-noda syirik, baik syirik akbar (besar) yaitu beribadah kepada selain Allah, maupun syirik asqhar (kecil) seperti riya’ firman Allah,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”. (QS. An-Nisa: 36)

Juga bersih dari noda-noda bid’ah (perkara baru yang diada-adakan dalam urusan agama yang tidak ada petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya) yang berupa ucapan, keyakinan dan amalan. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

“Siapa yang mengada-adakan (sesuatu yang baru) dalam urusan dien (agama) kami ini yang bukan dari padanya maka dia tertolak”. [HR. Al-Bukhariy dan Muslim]

Al-Imam Abu Zakariya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Minhaj (12/16), “Hadits ini merupakan sebuah kaedah agung diantara kaedah-kaedah Islam. Hadits termasuk jawami’ al-kalim (ucapan ringkas, tapi padat maknanya) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, karena ia gamblang dalam menolak segala perbuatan bid’ah, dan sesuatu yang diada-adakan”.

Ibnu Daqiq Al-Ied-rahimahullah- dalam Syarah Al-Arba`in An-Nawawiyah (hal.43, Cet.Dar Ibnu Hazm),“Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung diantara kaidah-kaidah agama.Dia termasuk "Jawami’ Al-Kalim" (ucapan ringkas, tapi padat maknanya) yang diberikan kepada Al-Mushthofa r , karena hadits ini jelas sekali dalam menolak segala bentuk bid`ah dan perkara-perkara baru”.

Serta bersih dari maksiat. Kemurnian tauhid ini akan terwujud dengan adanya keikhlasan yang sempurna, baik dalam ucapan, amalan, maupun iradah (kehendak)nya, selamat dari syirik akbar yang membatalkan keislamannya (aqidahnya) dan selamat dari syirik ashgar (kecil), seperti riya’ yang mengurangi kesempurnaan tauhid juga terbebas dari bid’ah dan maksiat yang mengotori tauhid yang berpengaruh sangat jelek.

Jadi, inilah yang menyebabkan ia masuk surga tanpa hisab atau hisab yang mudah, termasuk golongan pertama yang masuk surga dan dia berada di maqam (kedudukan) yang tinggi.

Murninya tauhid adalah tunduk kepada Allah dengan sempurna dan tawakkal yang kuat kepada-Nya sehingga hatinya tidak condong sedikit pun kepada mahkluk di setiap kondisi, tidak meminta kemuliaan kepada mereka di mana dan kapan saja, tapi dzohir dan batinnya, ucapan dan perbuatan, cinta, bencinya karena Allah dan semuanya di tujukan hanya mencari ridha Allah dengan mengikuti petunjuk Rasul-Nya.

Tauhid yang murni tidak bisa diperoleh hanya dengan angan-angan, tidak dengan hanya berdo’a yang tanpa bukti dan khayalan-khayalan kosong, tapi kemurnian syahadat bisa didapat dengan hal-hal yang menenangkan hati, berupa keyakinan, aqidah yang terbukti dengan berbuat kebaikan, berakhlaq mulia dan beramak shaleh.

Firman Allah,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl: 97)

Memurnikan tauhid dengan cara inilah yang akan mendapatkan keistimewaan yang sudah disebutkan pada hadits bithoqoh di depan.

Para pembaca yang budiman, inilah hakekat syahadat yang murni dan faedah-faedahnya. Maka murnikanlah syahadatmu, dengan ketundukan, cinta, harap, takut, tawakkal dengan keyakinan yang kokoh hingga Allah menerimanya, dan agar kita bisa memetik buahnya di dunia dan akhirat serta memberikan pengaruh pada kaum muslimin, istiqomah di dalamnya sampai kita berjumpa dengan Allah di akhirat kelak.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 05 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)

(http://almakassari.com/?p=40)


Labels: ,

Baca Selengkapnya...
 
posted by إبراهيم at 8:37 PM | 0 comments
Pada edisi kali ini, kami angkat sebuah topik permasalah yang klasik dan kontemporer, yaitu mengenal Dimana Allah? Karena di sana banyak kita dapati di antara masyarakat yang menyimpang dalam aqidah (keyakinan) yang agung, prinsip Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan para shahabat -Ridhwanullah ‘alaihim ‘ajmain-, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Kita mendapati di antara kaum muslimin di zaman ini, bermacam-macam keyakinannya atas pertanyaan “Dimana Allah?”. Di antaranya ada yang berkeyakinan bahwa Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berada di hati, bahwa Allah itu berada dimana-mana, bahwa Allah itu lebih dekat dari urat leher, bahwa Allah -Subhanahu wa Ta’ala- bersatu dengan hamba-Nya. Lebih parah lagi, ada juga yang berkeyakinan bahwa Allah itu tidak di kanan, tidak di kiri, tidak diatas, tidak di bawah, tidak di depan, dan tidak pula di belakang. Sungguh ini adalah pernyataan yang sangat lucu. Lantas dimana Allah?!. Padahal kalau kita mau mengikuti fitrah kita yang suci, sebagaimana fitrahnya anak yang masih kecil, pemikiran mereka yang masih polos, seperti putihnya kertas yang belum ternodai dengan tinta. Kita akan dapati jawaban dari lisan-lisan kecil mereka, jikalau mereka ditanya, “Dimana Allah?” Mereka akan menjawab, “Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berada di atas langit”.

Aqidah (keyakinan) tentang keberadaan Allah di langit (artinya, di atas Arsy), ini telah dijelaskan dalam Kitabullah, As-Sunnah, ijma’, dan komentar para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam kitab-kitab mereka. Mereka sudah patenkan (tetapkan) bahwa barangsiapa yang menyelisihinya, maka ia adalah ahli bid’ah, dan menyimpang.

Dalil-dalil masalah ini sangatlah banyak dari Al-Qur’an, dan As-Sunnah. Berikut ini kami akan sebutkan -insya’ Allah- beberapa di antaranya saja, dan sebenarnya tidak terbatas.

Al-Allamah Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin-rahimahullah- berkata dalam Syarh Lum’ah Al-I’tiqod (hal. 61), “Istiwa’ (bersemayam)nya Allah di atas Arsy termasuk diantara sifat-sifat yang tetap bagi-Nya berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan kesepakatan Salaf”.

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy”. (QS. Thoha: 5)

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy”. (QS. Al A’raf: 54)

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan”. (QS. Yunus: 3)

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy”. (QS. Ar Ra’d: 2)

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy”. (QS. Al-Furqon: 59)

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `arsy”. (QS. As-Sajadah: 4)

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”. (QS. Fathir: 10)

Al-Hafizh Al-Baihaqy-rahimahullah- berkata dalam Al-I’tiqod (1/114), “Ayat-ayat itu merupakan dalil yang membatalkan pendapat orang Jahmiyyah yang menyatakan bahwa Dzat Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berada dimana-mana”.

Dalil-dalil dalam permasalahan ini banyak sekali, jika kita ingin memeriksa Al-Qur’an, As-Sunnah, dan atsar para salaf. Oleh karena itu, Ibnu Abil Izz Al-Hanafiy -rahimahullah- berkata dalam Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (288), “Dalil-dalil yang semisal dengannya,kalau seandainnya dihitung satu-persatu, maka akan mencapai ribuan dalil”

Adapun dalil-dalil dari hadits, sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:

لمَاَّ خَلَقَ اَللهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِيْ غَلَبَتْ غَضَبِيْ

“Ketika Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menciptakan makhluk-Nya, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menuliskan di dalam kitab-NYa (Lauh Mahfudz) yang ada di sisi-Nya diatas Arsy (singgasana) ‘Sesungguhnya rahmat Allah mendahului kemurkaan-Nya.” [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (3022, 6969, dan 6986), dan Muslim dalam Shohih-nya (2751)]

Dari Abu Sa’id Al-Khudri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

أَلاَ تَأْمَنُوْنَنِيْ وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِيْ السَّمَاءِ يَأْتِيْنِيْ خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً

“Tidakkah kalian percaya kepadaku? Sementara aku dalam keadaan beriman kepada Yang dilangit. Datang kepadaku berita dari langit di waktu pagi hari dan petang…”. [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (4094), Muslim dalam Shohih-nya (1064)]

Al-Qurthuby -rahimahullah- dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (7/219) berkata, “Tidak ada seorang salaf pun yang mengingkari bahwa Allah bersemayam di atas Arsy-Nya secara hakiki. Arsy dikhususkan karena ia merupakan makhluk Allah yang terbesar. Para salaf tidak (berusaha) mengetahui cara (kaifiyyah) Allah bersemayam, karena sifat bersemayam itu tidak bisa diketahui hakekatnya. Imam Malik -rahimahullah- berkata : [‘Sifat bersemayam itu diketahui maknanya secara bahasa, tidak boleh ditanyakan cara Allah bersemayam, dan pertanyaan tentang cara Allah bersemayam merupakan bid’ah dan ajaran baru”.

Jadi, madzhab Ahlis Sunnah menyatakan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy, namun ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Adapun aqidah yang menyatakan bahwa Allah berada dimana-mana, bukanlah merupakan aqidah Ahlis Sunnah, akan tetapi merupakan aqidah ahli bid’ah yang batil berdasarkan ayat-ayat yang menyebutkan bahwa Allah di atas Arsy beserta keterangan Ulama Ahlis Sunnah yang telah kami sebutkan, dan berikut tambahan keterangan dalam masalah ini:

Al-Hafizh Abu Umar Ibnu Abdil Barr -rahimahullah- berkata dalam At-Tamhid (7/129), “Di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla berada di atas Arsy, di atas langit ketujuh sebagaimana yang ditegaskan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Itu juga merupakan hujjah mereka terhadap orang-orang Mu’tazilah yang berkata: “[Allah berada di mana-mana, bukan di atas Arsy]”.Dalil yang mendukung kebenaran madzhab Ahlul Haq/Ahlis Sunnah dalam hal ini adalah firman Allah Azza wa Jalla: “Ar-Rahman bersemayam di atas Arsy” dan firman-Nya Azza wa Jalla: “ Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy…”.

Imam Al-Qurthuby-rahimahullah- berkata dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (4/162): “Jahmiyyah terbagi menjadi 12 kelompok … (di antaranya) Al-Multaziqoh, mereka menganggap bahwa Allah berada di mana-mana …”.

Shodaqoh-rahimahullah- berkata, “Saya mendengar At-Taimy berkata,“Andaikan aku ditanya : Dimana Allah Tabaraka wa Ta’ala?, niscaya aku akan jawab: Dia di langit”. [ Lihat Syarah I’tiqod Ahlis Sunnah (3/401/671)]

Imam Malik bin Anas-rahimahullah- berkata, “Allah berada di langit, sedang ilmu-Nya berada di mana-mana, tidak ada satu tempatpun yang kosong dari ilmu-Nya”.[ Lihat Syarah I’tiqod Ahlis Sunnah (3/401/673)]

Imam Ahmad bin Hambal-rahimahullah- pernah ditanya, “Allah -Azza wa Jalla- berada di atas langit yang ketujuh, di atas Arsy terpisah dari makhluk-Nya. kemampuan dan ilmu-Nya berada di mana-mana?” Beliau Jawab : “Ya, Dia berada di atas Arsy. Sedang tidak ada satu tempat pun yang kosong dari ilmu-Nya”. [ Lihat Syarah I’tiqod Ahlis Sunnah (3/401-402/674)]

Imam Ahmad -rahimahullah- juga berkata, “Jika anda ingin mengetahui bahwa seorang Jahmiyyah itu berdusta atas nama Allah, yaitu saat ia menyangka bahwa Allah berada dimana-mana”.[Lihat Ar-Rodd ala Az-Zanadiqoh wa Al-Jahmiyyah (1/40)]

Dari semua dalil-dalil, dan pernyataan ulama salaf tersebut menunjukkan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy (singgasana), sedang Arsy Allah berada diatas langit, bukan dimana-mana. Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk mengimani dengan keimanan yang kokoh, tanpa ragu terhadap semua dalil-dalil yang menerangkan hal tersebut, dan menghadapinya sebagaimana ia datang, tanpa takwil, dan tanpa menanyakan cara Allah bersemayam, atau menyerupakannya dengan makhluk-Nya.

Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Adapun firman Allah Ta’ala :

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Lalu Dia bersemayam di atas Arsy”.

Orang-orang memiliki pendapat yang sangat banyak dalam masalah ini, tapi sekarang bukan saatnya kita paparkan. Dalam masalah ini kita harus mengikuti madzhab Salafush Sholeh, seperti Imam Malik, Al-Auza’iy, Ats-Tsaury, Al-Laits bin Sa’d, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rohuyah, dan lainnya dari kalangan ulama-ulama kaum muslimin baik dulu maupun sekarang. Madzhab mereka adalah menjalankan dan memahami sifat-sifat tersebut sebagaimana ia datang, tanpa perlu dibicarakan cara/bentuknya, atau diserupakan dengan sifat makhluk dan dihilangkan maknanya. Sedang yang terbayang dalam benak orang-orang Musyabbih (orang yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya)tersucikan dari Allah, karena tidak ada seorang makhlukpun yang menyerupai-Nya [‘Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya. Sedang Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat’]. Bahkan inti permasalahannya sebagaimana yang telah ditegaskan oleh para ulama, seperti Nu’aim bin Hammad Al-Khuza’iy. Beliau berkata : [ ‘Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang menolak sesuatu yang Allah sifatkan untuk diri-Nya, maka ia telah kafir. Tidak ada penyerupaan pada sesuatu yang Allah sifatkan untuk diri-Nya. Barangsiapa yang menetapkan (sifat) bagi Allah sebagaimana yang terdapat dalam ayat-ayat yang gamblang, dan hadits-hadits shohih dengan bentuk yang sesuai dengan kemuliaan Allah dan menyucikan segala kekurangan dari Allah, maka sungguh ia telah menempuh jalan yang lurus”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/221)]

Ini adalah aqidahnya para nabi, para sahabat, para tabi’in, dan para pengikut tabi’in sebagai generasi terbaik dari umat ini dalam memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena merekalah yang menyaksikan turunnya wahyu, dan sebab sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam- diucapkan oleh beliau.

Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan taufiq dan pemahaman yang lurus serta agar kita termasuk dari golongan mereka dan dijauhkan dari pemahaman-pemahaman yang menyimpang. Washolallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Ahlihi wa Ashhaabihi Ajmain.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 03 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)

(http://almakassari.com/?p=36)


Labels:

Baca Selengkapnya...
 
posted by إبراهيم at 8:31 PM | 0 comments
Banyak diantara agama, dan sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang dilalaikan orang pada hari ini sehingga terkadang menjadi sesuatu yang mahjur (ditinggalkan).
Inilah yang pernah diisyaratkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika beliau bersabda dalam sebuah hadits,

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ

"Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali (asing), sebagaimana ia muncul dalam keadaan asing. Maka beruntunglah orang-orang asing". [HR. Muslim dalam Kitab Al-Iman (232)]

Semua ini disebabkan karena kurangnya perhatian kaum muslimin terhadap agamanya dan sunnah Rasul-Nya-shollallahu alaihi wasallam-. Kurangnya perhatian mereka menuntut ilmu syar’i karena kesibukan duniawi yang memalingkan mereka. Sementara mereka tak ada perhatian lagi dengan majelis ilmu dan majelis ta’lim. Akibatnya, agama dan Sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- terasa asing dan aneh di sisi mereka.

Memang mereka terkadang mendatangi majelis ta’lim. Namun jika mereka hadir, nampak pada wajah mereka lelah dan keterpaksaan ikut majelis ta’lim. Yah, hanya sekedar hadir agar orang tidak mencelanya. Maka anda akan lihat orang semacam ini jika hadir di majelis ta’lim, ada yang ngantuk , bahkan tidur. Ada yang bersandar di tembok, jauh dari ustadz. Ada yang sengaja duduk di belakang untuk sembunyi; jika ngantuk dan tertidur, ia bisa sembunyikan wajahnya di balik punggung kawannya. Ada yang cerita dengan temannya sehingga mengganggu ceramah ustadz. Ada yang melayang pikirannya sampai Amerika. Inilah kondisi mereka sehingga tak heran jika mereka tetap jahil terhadap agamanya.

Jika mendengar cerita yang menguntungkan dunianya, maka matanya terbelalak. Betul dunia adalah nikmat yang Allah berikan. Namun jangan dijadikan tujuan hidup dan pusat perhatian. Dunia diambil sekedar bekal menuju Allah -Ta’ala-. Allah tidak memberikan nikmat kepada seorang hamba-Nya, kecuali nikmat itu hanya sekedar alat dan sarana yang dipakai untuk beribadah dan beramal sholeh. Dunia dengan segala nikmatnya bukanlah merupakan tujuan dan terminal terakhir bagi seorang muslim. Akan tetapi merupakan tempat persinggahan mengambil bekal menuju perjalanan akhir, yaitu akhirat.

Fenomena berlombanya kaum muslimin memperbanyak harta benda dan fasilitas duniawi sehingga membuat mereka lupa terhadap agamanya merupakan sebab tersebarnya kejahilan. Jika semakin hari, semakin tersebar kejahilan, maka ketahuilah bahwa ini adalah salah satu diantara ciri dan tanda dekatnya hari kiamat.

Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda,

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ : أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَ يُثْبَتَ الْجَهْلُ

“Diantara tanda-tanda kiamat: Diangkatnya ilmu, dan kokohnya (banyaknya) kejahilan”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (80), dan Muslim dalam Shohih-nya (2671)]

Di akhir zaman, seperti zaman kita ini, sebelum datangnya hari kiamat akan ada hari-hari yang di dalamnya turun dan tersebar kejahilan yang disebabkan oleh malasnya manusia dan enggannya mereka dari menuntut ilmu agama, yaitu ilmu tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda,

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لَأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيْهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ الْعِلْمُ

“Sesungguhnya di depan hari kiamat ada hari-hari yang kejahilan diturunkan di dalamnya, dan ilmu diangkat”. [HR. Al-Bukhoriy (6654)]

Di tengah kabut kejahilan menyelimuti manusia, tersebarlah berbagai macam maksiat berupa pembunuhan, pencurian, perzinaan, dan kerakusan terhadap harta. Ini semua diakibatkan oleh hilangnya ilmu agama yang bermanfaat di tengah manusia. Nabi-shollallahu alaihi wasallam- bersabda dalam riwayat lain ketika menyebutkan tanda dekatnya hari kiamat,

يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُُرُ الْهَرْجُ

“Zaman akan saling mendekat, diangkatnya ilmu, munculnya berbagai fitnah (masalah), diletakkan kerakusan, dan banyaknya peperangan”. [HR. Al-Bukhoriy (989) dan Muslim (157)]

Al-Imam Ibnu Baththol –rahimahullah- berkata , “Semua yang dikandung oleh hadits ini berupa tanda-tanda kiamat sungguh kami telah melihatnya dengan mata kepala. Ilmu sungguh telah diangkat, kejahilan muncul, dile tak kannya penyakit rakus dalam hati, fitnah (musibah) merata, dan pembunuhan banyak”. [Lihat Fath Al-Bari (13/16)]

Ini di zamannya Ibnu Baththol –rahimahullah-, maka bagaimana lagi di zaman kita ini kejahilan merata dimana-mana, baik di kota maupun di pedalaman. Kejahilan di negeri kita bukan hanya mengenai rakyat jelata yang tak berpendidikan agama, bahkan juga mengenai kaum terpelajar. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi-shollallahu alaihi wasallam-,

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اِتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُسًا جُهَّالًا فُسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا

“Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan sekali mencabutnya dari manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’ sehingga apabila Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama’pun, maka manusiapun mengangkat pemimpin-pemimpin yang jahil. Mereka (para pemimpin tsb) ditanyai, lalu merekapun memberikan fatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (manusia)” .[HR.Al-Bukhory dalam Kitab Al-Ilm (100), dan Muslim dalam Kitab Al-Ilm (2673)]

Al-Imam Abu Zakariya An-Nawawiy-rahimahullah- berkata ketika menjelaskan makna hadits di atas, "Hadits ini menjelaskan maksud tercabutnya ilmu dalam hadits-hadits lalu yang muthlak (umum), bukan menghapusnya dari dada para penghafal (pemilik) ilmu itu. Akan tetapi maknanya, para pembawa ilmu itu (yakni para ulama) akan mati. Lalu manusia mengangkat orang-orang jahil (sebagai pemimpin dalam agama). Orang-orang jahil itu memutuskan perkara berdasarkan kejahilan-kejahilannya. Lantaran itu ia sesat, dan menyesatkan orang". [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim ibn Al-Hajjaj (16/224), cet. Dar Ihya’ At-Turots Al-Arabiy]

Alangkah banyaknya pemimpin dan ustadz-ustadz seperti ini. Mereka diangkat oleh manusia sebagai seorang ulama’ dan ustadz. Padahal ia tidaklah pantas dijadikan panutan, karena ia jahil. Kalaupun ia berilmu, namun ilmu itu di buang di belakang punggungnya. Manusia jenis ini banyak bermunculan bagaikan jamur di musim hujan.

Coba lihat disana, manusia mengangkat seorang pelawak sebagai “da’i sejuta ummat”. Padahal bisanya cuma tertawa dan menggelitik para pendengar.

Dari arah lain, muncul para normal yang dulunya dijauhi oleh manusia, karena dikenal memiliki sihir. Sesaat kemudian berubah menjadi “da’i sejuta ummat”, karena sekedar pernah memimpin dzikir jama’ah yang dihadiri oleh sebagian kiyai jahil dan orang-orang yang memiliki kedudukan. Dulunya tukang sihir dan dukun (para normal), kini menjadi ustadz, bahkan terakhir bergelar “KH”.

Artis pun tak ketinggalan ambil job dalam kancah dakwah dengan bermodalkan semangat kemampuan tampil di depan publik dan wajah ganteng sebagai modal dengkul untuk menarik ummat menuju ke neraka. Bagaimana tidak, sebab seorang yang berdakwah tanpa ilmu akan mengantarkan dirinya berbicara tanpa batas, sehingga terkadang ia telah merusak dan menghancurkan agama pendengarnya, namun ia tak sadar karena memandang dirinya lebih pandai dari pendengar. Padahal ia jahil atau mungkin lebih jahil dari pendengar. Nas’alullahal afiyah wassalamah minal fitan.

Lebih para lagi, jika dakwah yang ditangani oleh orang-orang jahil dihiasi dengan perkara-perkara yang melanggar syari’at, seperti dakwah dihiasi dengan musik dengan istilah "Nada dan Dakwah". Ini adalah cara dakwah yang keliru, karena menyalahi tuntunan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- . Dengarkan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam mengharamkan musik,

لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنِ الْحِرَّ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

"Sesungguhnya akan ada beberapa kaum dari ummatku akan menghalalkan zina, kain sutra, minuman keras (khomer), dan musik". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Asyribah (5590)]

Muhaddits Negeri Syam Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy –rahimahullah- berkata dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Thorb (hal 105), “Sesungguhnya para ulama dan fuqoha –diantaranya empat imam madzhab- sepakat mengharamkan alat-alat musik karena berteladan dengan hadits-hadits Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam dan atsar-atsar Salaf ”.

Jadi, berdakwah dengan musik merupakan perkara kejahilan dan kebatilan yang menyalahi tuntunan Allah -Ta’ala-, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan para ulama’ kaum msulimin dari dulu sampai hari ini. Oleh karena itu, kita sesalkan adanya sebagian orang-orang jahil atau pura-pura jahil yang menyemarakkan program "Nada dan Dakwah" yang jelas dan nyata menyelihi agama !! Ini lebih diperparah lagi dengan bantuan "Guru Besar" alias televisi dalam menyemarakkannya demi meraih keuntungan duniawi yang semu, dan memperturutkan hawa nafsu.

Realita ummat yang demikian ini membuat dahi berkerut dan kepala sakit karena banyaknya dan bertambahnya “PR” yang perlu diselesaikan oleh para dai kebenaran. Dengan realita kejahilan ummat seperti ini, tak pelak jika banyak menimbulkan masalah. Tak heran jika terkadang ada sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang ingin diamalkan di zaman ini, mereka serta merta merasakannya sebagai suatu yang asing, menolaknya, menganggapnya bukan dari Islam!! Bahkan memusihi dan menyakiti sebagian hamba-hamba Allah -Ta’ala- yang mengamalkannya.

Jika kejahilan tentang agama merata di tubuh ummat, maka akan tersebar berbagai macam pelanggaran, syirik, kekafiran, bid’ah, dan maksiat, baik yang nampak, maupun yang tersemunyi. Inilah awal kehinaan yang akan menimpa ummat Islam yang dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam.

Jika ummat Islam sibuk dengan dunia, sibuk dengan peternakan, pertanian, perdagangan –apalagi riba- sehingga lupa mempelajari agamanya dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka Allah akan timpakan kehinaan atas mereka. Inilah kehinaan yang tak mungkin akan tercabut dari tubuh ummat kecuali mereka mau kembali kepada agamanya dengan ilmu agama yang benar, dan berguna.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

"Jika kalian berjual-beli dengan cara ‘inah (salah satu bentuk riba, -pen), kalian memegang ekor-ekor sapi, ridho dengan bercocok tanam, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang tak akan dicabut oleh Allah sampai kalian kembali kepada agama kalian". [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (3462). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Muhaddits Al-Atsariy Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (11)]

Kesibukan dengan dunia menyebabkan kita akan semakin cinta kepadanya, dan takut mati untuk menghadap Allah -Ta’ala- .Seakan-akan kita mengharapkan diri dan harta benda yang melalaikan kita agar kekal di dunia, tanpa menghadapi hisab.

Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

يُوْشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ ؟ قَالَ : بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُوْرِ عَدَوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللهُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ الْوَهْنَ " فَقَالَ قَائِلٌ: يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْوَهْنُ ؟ قَالَ : حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

"Hampir saja ummat-ummat saling memanggil (menyerang) menuju kalian sebagaimana orang-orang yang mau makan saling memanggil kepada nampannya". Ada yang bertanya, "Apakah karena kita sedikit saat itu?" Beliau bersabda, "Bahkan kalian saat itu banyak, tapi kalian buih laksana buih ombak. Allah benar-benar akan mencabut perasaan segan terhadap kalian dari dada musuh kalian; Allah akan mencampakkan kelemahan dalam hati kalian". Ada yang bertanya, "Apa kelemahan itu?" Beliau menjawab, "Cinta dunia, dan takut mati".[HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Malahim (4297). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (958)]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 60 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

(http://almakassari.com/?p=261)


Labels:

Baca Selengkapnya...
 
posted by إبراهيم at 8:26 PM | 0 comments